Jawaban:
Kelas yang Merindukan Kemerdekaan
"Rif, sebentar lagi 17 Agustus dan sekolah bakal menilai kebersihan kelas. Bagaimana kalau sebaiknya kita rapat dan bagi-bagi tugas kebersihan nanti siang?"
"Ah, nantilah. Penilaiannya kan masih lama. Palingan tanggal 16 Agustus. Santai saja. Sekarang kan baru tanggal 10 Agustus. Kita bersih-bersih pada tanggal 16 Agustus pagi saja."
Percakapan kedua siswa SMP itu berhenti hanya sampai di sana. Arif sebagai seorang ketua kelas VII C memang memiliki kepribadian yang cukup unik.
Dia tidak banyak bicara, dan parahnya Arif sangat jarang mau menerima saran dari teman-teman sekelasnya. Jangankan saran dari siswa, perkataan guru pun belum tentu ia dengar sepenuhnya.
Imbas dari sikap ketua kelas yang sulit diajak kompromi, akhirnya para siswa perlahan semakin antipati.
Ketika mereka kesal lalu berkata: "Rif, kamu kan ketua kelas, mari kita bicarakan baik-baik, dong!" Arif pun menjawab dengan santai: "Lha, yang ketua kelas siapa, aku, kan? Lagian kalian pula yang memilihku. Sudahlah. Turuti saja apa aturanku."
Apakah puncak kekesalan seseorang adalah marah? Tidak. Derajat kesal yang tertinggi adalah diam, yaitu ketika seseorang memilih enggan untuk peduli. Termasuk kepada Arif.
Para siswa kelas VII C ingin sekali melaporkan tingkah laku Arif kepada wali kelas, tapi mereka tidak tega. Walaupun Arif berperilaku demikian, Arif selamanya tetap menjadi teman mereka.
Terkadang, siswa yang semaunya sendiri ini mengepel lantai, membersihkan kaca hingga membuang sampah walaupun di hari itu dirinya tidak piket.
Tentu saja siswa lain merasa tersentuh bahkan malu dengan sikap diri yang tidak mau menuturi perkataan ketua kelas.
Walaupun begitu, biar bagaimanapun kelas VII C sudah tidak lagi merdeka. Terlepas kebaikan dan ketulusan yang dilakukan Arif, para siswa juga ingin mendapat kebebasan berpendapat, beropini, berbicara, serta memberikan saran.
Bukan apa-apa.
Kelas yang sederhana ini bukanlah milik Arif semata, bukan pula hanya menjadi tanggung jawabnya. Ketua kelas tidak akan mampu berjuang sendiri, apalagi dengan seenaknya mengotonomi.
*
Bel berbunyi tiga kali, yang berarti bahwa waktu pulang sekolah sudah tiba. Arif pun sudah merapikan buku dan menggandeng tasnya. Saat itu jam kosong, sehingga kelas VII C bisa pulang 5 menit lebih cepat. Tapi, ternyata tidak dengan teman-teman sekelasnya.
"Lho, mengapa kalian tidak pulang? Bukanlah kalian biasanya paling senang jikalau pulang cepat?"
"Begini, Rif. Sebagaimana yang aku katakan tadi. Sebentar lagi akan ada lomba kebersihan dalam menyambut HUT RI. Kita tentu tidak mau malu dan dicap sebagai kelas terkotor, kan? Maka dari itu, mari kita rapat dan atur seksi-seksi kebersihan tambahan mulai dari sekarang."
"Hemm. Tadi aku kan sudah bilang bahwa penilaian kebersihan itu paling-paling baru akan dilakukan pada tanggal 16 atau 18 Agustus. Jadi ya, kita tidak perlu capek-capek mempersiapkannya dari sekarang. Nanti juga kisahnya seperti hari-hari biasanya. Masih ada teman yang enggan peduli untuk piket, lalu aku lagi yang membuang sampah dan bersih-bersih."
Setelah mengucapkan kata-kata yang menohok, Arif pun langsung pergi meninggalkan kelas VII C dan berniat untuk pulang.
Sedangkan teman-temannya? Hanya diam. Tak berani menyanggah perkataan walaupun hanya satu huruf. Mereka sadar akan kesalahan dan keengganan untuk peduli, tapi di sisi yang sama mereka juga ingin mencoba untuk berempati.
Kembali ke Arif. Ia keluar dengan perasaan dingin. Ia sebenarnya peduli, tapi sekarang sudah mulai merasa lelah. Meski begitu, dirinya masih ingat dengan tanggung jawab sebagai pemimpin.
Sesaat ketika melewati kelas sebelah, Arif pun tertegun. Hatinya bergetar hebat setelah mendengar kata-kata dari seorang guru di akhir kelas.
"Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang memercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong-Royong" (Bung Karno)
Benar. Pernyataan itu hanyalah sebuah kalimat. Tapi Arif tersadar bahwa dirinya seakan-akan sudah bersikap seperti seorang penjajah yang menjajah kelas sendiri, menawan aspirasi dari teman-teman sekelas, bahkan menambal pendapat-pendapat inspiratif mereka.
Arif sadar bahwa ia sudah semena-mena dan seperti pidato Bung Karno, ternyata selama ini dirinya kurang memercayai teman-teman sekelas, padahal kepercayaan teman-teman sudah diberikan kepada Arif sepenuhnya.
Detik itu juga, Arif pun langsung kembali ke kelas VII C dan menyapa teman-temannya. Mereka pun akhirnya berdiskusi dengan ceria, dengan saling terbuka, dan menggaungkan rencana gotong-royong sebagai jalan mempermudah upaya.
***
Tamat.
Penjelasan:
semoga membantu
[answer.2.content]